May 10, 2012

Kedudukan Negara dalam Penyelenggaraan Pertambangan

Oleh Meray Hendrik Mezak | Jumat, 21 Oktober 2011 | 9:55
Pengelolaan pertambangan di Indonesia tak pernah sepi dari polemik. Polemik umumnya terfokus pada adanya ketimpangan yang tajam antara kekayaan alam yang berlimpah di satu sisi, dan nasib serta keberuntungan rakyat dan bangsa Indonesia yang belum begitu beranjak.

Pertambangan merupakan suatu usaha menggali potensi sumbersumber daya alam, baik yang terdapat di permukaan bumi maupun dalam perut bumi, yang mempunyai nilai ekonomi, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada kenyataan, Indonesia belum dapat dikatakan sebagai negara maju atau kuat dari sisi perekonomian.

Padahal, sumber-sumber alamnya cukup banyak dan bernilai ekonomi. Masih cukup banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian munculnya permasalahan pertambangan di Indonesia bukan semata-mata karena benturan kepentingan antara pihak perusahaan pertambangan dan masyarakat, melainkan dari sisi pengaturan yang belum memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

Amanat UU No 4/2009
Menyangkut pertambangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan. UU ini kemudian berganti dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada UU No  11/1967 ini, kontrak karya merupakan hal yang sangat ditekankan dalam pengelolaan pertambangan.

Munculnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengeliminasi sistem kontrak karya pertambangan dan memunculkan konsep baru, yaitu Izin Usaha Pertambangan (pasal 35 UU No 4/2009). Berdasarkan UU No 11/1967, kedudukan negara seimbang dengan pelaku usaha, sehingga posisi tawarmenawar dari pelaku usaha cukup kuat.

Dasar pertimbangannya adalah bahwa pelaku usaha, baik investor nasional maupun asing mempunyai modal yang kuat dan dapat memperdaya penyelenggara negara yang berkompeten dalam bidang pertambangan.

Sementara itu, berdasarkan UU No 4/2009), kedudukan dan kewenangan negara berada di atas pelaksana pengelolaan pertambangan. Negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempunyai kewenangan-kewenangan berupa pembinaan, pengenaan sanksi bahkan dapat memberhentikan kegiatan sementara dan/atau mencabut izin usaha pertambangan.

Ini tentu berdasarkan penilaian bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana pengelolaan pertambangan. Pengelola pertambangan sudah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan dan syarat-syarat yang ditentukan dalam peizinan.

Berkaitan dengan nilai pendapatan negara, baik berupa pajak, penerimaan negara bukan pajak, retribusi, maupun royalti, negara dapat menentukannya secara proposional, sehingga tujuan dari pengelolaan pertambangan secara signifikan dapat memicu pertumbuhan ekonomi.

Demikian juga dengan peran masyarakat, terutama menyangkut kebijakan-kebijakan strategis di bidang pertambangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan DPR untuk tingkat pusat dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota untuk tingkat lokal. Ketentuan ini sekaligus dapat mengeliminasi kesan umum yang terbangun selama ini bahwa rakyat hanya menjadi penonton dalam pengelolaan pertambangan.

Berlakunya UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jelas mempunyai konsekuensi tentang kelangsungan kontrak pertambangan dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Namun, pasal 169 UU No4/2009 memberi jaminan, yakni pertama, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Kedua, ketentuan yang tercantum dalam kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan sebagaimana dimaksud huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Ketiga, pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Solusinya, Renegosiasi
Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 169 sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal itu bukan berarti  tidak akan ada masalah berkaitan dengan peralihan sistem tersebut. Kontrak Karya PT Freeport Indonesia adalah contoh. Sesuai kontrak karya generasi kedua yang akan berakhir 2021, terdapat sebuah klausul yang menyebutkan, kontrak bisa diperpanjang dua kali jika PT Freeport Indonesia menginginkan. Hal yang sama juga berlaku bagi kontrak karya pertambangan lainnya.

Solusinya, semua kontrak karya yang masih eksis harus renegosiasi. Prinsipnya harus bisa menguntungkan kedua pihak, sebab meskipun rezim sistem kontrak karya telah berakhir, dan kemudian beralih ke sistem izin pertambangan, eksistensi kontrak karya tidak bisa dianggap tidak ada. Pasal 169 UU Minerba menjamin hal itu dan berlaku sampai jangka waktu kontrak berakhir.

Pasal 169 huruf b juga memberi batas waktu penyesuaian selama satu tahun sejak 12 Januari 2009, suatu kurun waktu yang cukup singkat sedangkan peralihan sistem tersebut cukup rumit.

Sampai saat ini, menurut Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 65% dari kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) secara prinsip sudah menyetujui renegosiasi kontrak. Salah satu yang belum menyepakati renegosiasi kontrak adalah Freeport.

Dari sisi kontrak (perdata), kasus Freeport berpotensi menimbulkan perselisihan, dan ini bisa diselesaikan melalui litigasi atau arbitrase, sedangkan untuk izin pertambangan bisa dilakukan melalui peradilan tata usaha negara. Ini mengingat kedudukan negara, termasuk pemerintah daerah, yang tidak lagi sebagai pihak-pihak dalam kontrak.

Kedudukan negara adalah sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat untuk menjalankan hak menguasai negara atas bumi, air, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya sesuai amanat konstitusi.

Penulis adalah pengajar Hukum Agraria dan Hukum Real Estate pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

http://www.investor.co.id/home/kedudukan-negara-dalam-penyelenggaraan-pertambangan/22531

No comments:

Post a Comment