Oleh Marwan Batubara | Senin, 21 Mei 2012 | 10:24
Upaya pemerintah untuk membeli 7% saham Newmont (NNT) belum menampakkan titik terang, meskipun hal ini dijamin konstitusi dan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Kontrak Karya (KK) Tambang Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat.
Saat ini pemerintah sedang berhadapan dengan penolakan dari DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). DPR menganggap anggaran untuk pembelian tersebut belum dibahas dan disetujui oleh DPR. Atas permintaan DPR, BPK mengaudit landasan legal penggunaan anggaran pembelian saham.
Hasilnya, BPK pun bersikap sama dengan DPR bahwa menteri keuangan tidak berwenang membeli saham tersebut sebelum mendapat persetujuan DPR. Karena ditolak DPR dan BPK, pembelian 7% saham Newmont belum dapat dieksekusi, meskipun pemerintah dan Newmont telah menyepakati harga dan batas waktu eksekusi pembelian dalam suatu nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MOU). Bahkan, MOU telah diperpanjang hingga dua kali.
Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu antara pemerintah di satu sisi, dan DPR serta BPK di sisi lain. Apa latar belakang kisruh divestasi saham ini dan bagaimana prospek serta gagasan ke depan, akan dibahas dalam tulisan berikut.
Jadwal Divestasi
Berdasarkan pasal 24 KK Newmont yang ditandatangani pada 1986, rencana divestasi saham telah ditetapkan sebesar 3%, 7%, 7%, 7%, dan 7% sesuai jadwal masing-masing pada tiap akhir Maret 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010. Sementara itu, pada periode awal kontrak, perusahaan swasta Indonesia, PT Pukuafu Indah milik Yusuf Merukh, telah memiliki 20% saham di NNT. Karena itu, jika divestasi terlaksana sesuai jadwal, pemilikan saham “peserta Indonesia” pada 2010 akan mencapai 51%.
Faktanya, divestasi pertama sebesar 3% dan divestasi kedua sebesar 7% yang harusnya tuntas tahun 2007, mundur dari jadwal karena pertarungan pihak-pihak yang berkepentingan seperti Newmont sendiri, swasta nasional, para pencari rente, dan oknum-oknum pemerintah. Karena itu, pemerintah menggugat ke arbitrase dan hasilnya pun telah dimenangkan.
Pada 2008, divestasi belum juga dapat terlaksana karena adanya kepentingan perusahaan swasta nasional yang ingin menguasai saham dan juga karena perbedaan internal pemerintah. Pada saat yang sama, jadwal divestasi ketiga (7%, 2008) telah masuk, sehingga total saham yang harus dijual menjadi 17%.
Ternyata perbedaan sikap di atas masih berlanjut sampai pada proses divestasi keempat (7%, 2009), di mana total saham yang harus didivestasi menjadi 24%. Namun, setelah terjadinya pergantian kabinet, perbedaan sikap dapat diselesaikan pada November 2009.
Namun, sangat disayangkan pemerintah mendukung pembelian saham oleh Daerah (Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat), karena yang akan menguasai sebenarnya swasta nasional, dengan perbandingan 75% Multicapital dan 25% daerah (Daerah Maju Bersaing/DMB). DMB dan Multicapital bergabung dalam konsorsium Multi Daerah Bersaing (MDB).
Dengan demikian hilanglah kesempatan bagi negara atau badan usaha milik Negara (BUMN) untuk memiliki saham di tambang Newmont. Dengan tekad pemerintah membeli 7% saham sesuai jadwal divestasi kelima (7%, 2010), terbuka kesempatan bagi negara/ pusat untuk memiliki saham di Newmont. Meskipun jumlahnya kecil, rencana tersebut patut didukung, karena seharusnya telah dilakukan sejak divestasi pertama pada 2006. Namun, realisasi pembelian harus menunggu keputusan sidang gugatan sengketa kewenangan lembaga yang saat ini masih berlangsung di MK.
Prospek dan Gagasan
Saham Newmont merupakan target bisnis yang sangat menarik bagi investor asing dan swasta nasional guna dikuasai. Untuk itu, berbagai upaya akan dilakukan, baik secara normal maupun secara inskonstitusional, ilegal, dan melanggar rasa keadilan.
Tengoklah potensi keuntungan yang akan diperoleh. Dengan membayar US$ 909 juta atas 24% saham Newmont pada 2009, MDB memperoleh deviden tahun 2010 sebesar US$ 172,8 juta. Artinya, tingkat keuntungan usaha adalah 19% per tahun, dan masa pengembalian modal hanya dalam waktu sekitar enam tahun!
Belum lagi jika keuntungan dari kegiatan pengadaan barang-barang capital dan operasional diperhitungkan, maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Padahal, Tambang Batu Hijau masih akan beroperasi puluhan tahun ke depan, melewati tahun 2030. Siapa yang tidak tertarik untuk menguasai sahamnya?
Terlepas dari besarnya potensi keuntungan di atas, seharusnya yang menjadi rujukan bagi pemerintah, DPR, pebisnis asing dan swasta nasional adalah konstitusi, bahwa sumber daya alam (SDA) Batu Hijau harus dikuasai negara (melalui BUMN) dan dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat (melalui APBN).
Itulah sebabnya mengapa KK Newmont sejak awal telah mencantumkan ketentuan bahwa divestasi saham merupakan hak utama, first right of refusal, pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah harus berupaya optimal mengamankan hak konstitusional tersebut, dan begitu pula dengan DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Sehubungan dengan ketentuan konstitusi di atas, maka MK diminta untuk segera memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang terkait divestasi 7% saham Newmont. Bagaimanapun pemerintah pusat mempunyai hak pertama dan utama guna membeli saham tersebut. Namun, pemerintah pun harus memegang saham tersebut secara permanen, bukan untuk dijual kembali setelah beberapa tahun.
Sebaliknya, DPR dan BPK diminta untuk mendukung pembelian saham tersebut, termasuk untuk menjamin agar 7% saham tersebut dikuasai pemerintah dalam jangka panjang, selama tambang masih beroperasi.
Penulis adalah direktur eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress)
http://www.investor.co.id/opini/ironi-divestasi-saham-newmont/36463
No comments:
Post a Comment